Konsep
Manusia Dalam Al qur’an
Pencipta
manusia
Keberadaan
manusia di muka bumi ini bukanlah untuk main-main, senda gurau, hidup
tanpa arah
atau tidak tahu dari mana datangnya dan mau kemana tujuannya. Manusia yang
merupakan bagian
dari alam semesta inipun diciptakan untuk suatu tujuan. Allah menegaskan
bahwa
penciptaan manusia dalam firman-Nya surat adz-Dzariyat : 56
Artinya “Dan
Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya merekamengababdi
kepada-Ku.” (QS. adz-Dzariyat : 56)
Dari ayat
tersebut dapat diambil pemahaman bahwa, kedudukan manusia dalam sistem
penciptaannya adalah sebagai hamba Allah. Kedudukan ini berhubungan dengan hak
dan kewajiban manusia di hadapan Allah sebagai penciptanya. Dan tujuan
penciptaan manusia adalah untuk menyembah kepada Allah SWT. Penyembahan manusia
kepada Allah lebih mencerminkan kebutuhan manusia terhadap terhadap terwujudnya
sesuatu kehidupan dengan tatanan yang baik dan adil. Karena manusia yang
diciptakan Allah sebagai makhluk yang paling canggih, mampu menggunakan potensi
yang dimilikinya dengan baik, yaitu mengaktualisasikan potensi iman kepada
Allah, menguasai ilmu pengetahuan, dan melakukan aktivitas amal saleh, maka
manusia akan menjadi makhluk yang paling mulia dan makhluk yang berkualitas di
muka bumi ini sesuai dengan fitrahnya masing-masing.
Secara
rinci, sebab-sebab kemulian manusia itu adalah :
a. Bahwa
manusia tidak berasal dari jenis hewan sebagaimana dikatakan dalam teori
evolusi, melainkan berasal dari Adam yang diciptakan dari tanah.
b. Dibandingkan
dengan makhluk lain, manusia memiliki bentuk fisik yang lebih baik, sekalipun
ini bukan perbedaan yang fundamental (Q.S at-Tin:4).
c. Manusia
mempunyai jiwa dan rohani, yang didalamnya terdapat rasio, emosi dan konasi.
Dengan akal, manusia berfikir dan berilmu, dan dengan ilmu manusia menjadi
maju. Bahkan dengan ilmu manusia menjadi lebih mulia daripada jin dan malaikat,
sehingga mereka diminta oleh Allah untuk sujud, menghormati kepada manusia,
yakni Adam a.s (Q.S al-Baqarah: 31-34).
d. Untuk
mencapai kemulian martabat manusia tersebut, manusia perlu berusaha sepanjang
hidupnya melawan hawa nafsunya sendiri yang mendorong pada kejahatan. Hal ini
berbeda dengan binatang yang hanya hidup hanya menuruti insting nafsunya karena
tidak mempunyai akal, dan malaikat yang selalu berbuat baik secara otomatis
karena tidak memiliki hawa nafsu.
e. Manusia
diangkat oleh Allah sebagai khalifah di muka bumi dengan tugas menjadi penguasa
yang mengelola dan memakmurkan bumi beserta isinya dengan sebaikbaiknya (Q. S
al-Baqarah : 30) Diciptakannya segala sesuatu di muka bumi ini oleh Allah
adalah untuk kepentingan manusia itu sendiri (Q.S al-Baqarah: 29)
f. Manusia
diberi beban untuk beragama (Islam) sebagai pedoman dalam melaksanakan tugas
kekhalifaannya. Karenanya, manusia akan diminta pertanggung jawaban atas
pelaksanaan tugasnya tersebut (Q.S al-Qiyamah: 36).
2.2 Keistimewaan manusia dari makhluk lain
Manusia pada hakekatnya sama saja dengan makhluk hidup lainnya, yaitu
memiliki hasrat dan tujuan. Ia berjuang untuk meraih tujuannya dengan didukung
oleh pengetahuan dan kesadaran. Perbedaan diantara keduanya terletak pada
dimensi pengetahuan, kesadaran dan keunggulan yang dimiliki manusia dibanding
dengan makhluk lain.
Manusia sebagai salah satu makhluk yang hidup di muka bumi merupakan
makhluk yang memiliki karakter paling unik. Manusia secara fisik tidak begitu
berbeda dengan binatang sehingga para pemikir menyamakan dengan binatang. Letak
perbedaan yang paling utama antara manusia dengan makhluk lainnya adalah dalam
kemampuannya melahirkan kebudayaan. Kebudayaan hanya manusia saja yang
memilikinya, sedangkan binatang hanya memiliki kebiasaan-kebiasaan yang
bersifat instinktif.
Dibanding dengan makhluk lainnya,
manusia mempunyai kelebihan. Kelebihan itu membedakan manusia dengan makhluk
lainnya. Kelebihan manusia adalah kemampuan untuk bergerak dalam ruang yang
bagaimana pun, baik di darat, di laut, maupun di udara. Sedangkan binatang
hanya mampu bergerak di ruang yang terbatas. Walaupun ada binatang yang
bergerak di darat dan di laut, namun tetap saja mempunyai keterbatasan dan
tidak bisa melampui manusia. Mengenai kelebihan manusia atau makhluk lain
dijelaskan dalam Al-Quran surah Al-Isra ayat 70: “Dan sesungguhnya telah Kami
muliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka di daratan dan di lautan, Kami beri
mereka rezeki dari yang baik-baik dan kami lebihkan mereka dengan kelebihan
yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan.”
Diantara karakteristik manusia adalah:
1.
Aspek Kreasi
2.
Aspek Ilmu
3.
Aspek
Kehendak
4.
Pengarahan
Akhlak
Selain itu Al Ghazali juga mengemukakan pembuktian dengan kenyataan faktual
dan kesederhanaan langsung, yang kelihatannya tidak berbeda dengan
argumen-argumen yang dibuat oleh Ibnu Sina (wafat 1037) untuk tujuan yang sama,
melalui pembuktian dengan kenyataan faktual. Al Ghazaly memperlihatkan bahwa,
diantara makhluk-makhluk hidup terdapat perbedaan-perbedaan yang menunjukkan
tingkat kemampuan masing-masing. Keistimewaan makhluk hidup dari benda mati
adalah sifat geraknya. Benda mati mempunyai gerak monoton dan didasari oleh
prinsip alam. Sedangkan tumbuhan makhluk hidup yang paling rendah tingkatannya,
selain mempunyai gerak yang monoton, juga mempunyai kemampuan bergerak secara
bervariasi. Prinsip tersebut disebut jiwa vegetatif.
2.3
Jenis manusia dalam al Qur’an
Manusia dalam kitab suci Al-Qur’an
disebut dengan lima macam istilah: basyar, Bani Adam, ins, nas dan insan. Dalam
berbagai kamus dan Kitab Tafsir Al-Qur’an, istilah-istilah tersebut sering
dianggap sama. Tetapi bila diperhatikan secara seksama, terutama dalam siyak
Qur’aninya, akan terlihat bahwa masing-masing memiliki makna konotatif yang
berbeda satu sama lain.
Basyar dan Bani Adam
Kata basyar disebut
dalam Al-Qur’an sebanyak 35 kali, 25 di antaranya berkaitan dengan sifat-sifat
manusiawi (basyari) yang dimiliki oleh para nabi dan rasul serta umat
mereka. Dua di antara sifat-sifat tersebut yang secara eksplisit disebut dalam
Al-Qur’an adalah makan makanan dan berjalan di pasar-pasar.[1] Selain itu juga disebut tentang kejadiannya dari tanah liat yang
berasal dari lumpur hitam yang diberi bentuk.[2] Dan ini berbeda dengan kejadian jin yang dicipta dari api yang sangat
panas.
[3]Dengan demikian kata basyar itu digunakan oleh Al-Qur’an sebagai nama
jenis makhluk atau species, menurut istilah Biologi, yang memiliki sifat-sifat
biologik yang berbeda dengan jin. Karena itu para nabi dan rasul serta umat
mereka masing-masing adalah manusia biasa (basyar), bukan Manusia luar biasa(superhuman),
jin, atau punmalaikat. Lantas, termasuk species manakah manusia yang disebut
basyar dalam Al-Qur’an itu? Sebelum menjawab pertanyaan tersebut perlu
dikemukakan lebih dahulu bahwa menurut Al-Qur’an,[4] basyar itu adalah makhluk yang dicipta dari tanah lihat
yang berasal dari lumpur hitam yang diberi bentuk, dan kemudian disempurnakan
oleh Allah dengan meniupkan ruh-Nya kepadanya. Setelah itu Allah menyuruh para
malaikat untuk bersujud kepadanya, dan semuanya mematuhi perintah itu kecuali
iblis, karena dia merasa tidak sepantasnya menyembah makhluk yang dicipta dari
bahan baku yang lebih hina. Dan itulah basyar pertama yang dicipta oleh Allah.
Kisah
tentang basyar pertama yang diungkapkan dalam Al-Qur’an Surat
15:27-33 ini ternyata sejalan dengan kisah yang diungkapkan dalam Al-Qur’an
Surat 2:30-34, di mana Allah menggunakan sebutan Adam dan sebutan fungsionalnya, khalifah.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa basyar pertama itu tidak lain adalah Adam
yang mengemban tugas khilafah di muka bumi. Oleh karena itu pendapat orang yang
mengatakan bahwa Adam adalah Abul-Basyar (bapak umat manusia)
ada benarnya juga.
Dalam
kaitannya dengan pertanyaan di atas, perlu dijelaskan bahwa Al-Qur’an[5].
juga memakai istilah Bani Adam, yang berarti anak cucu atau keturunan Adam,
untuk menyebut manusia setelah Adam, termasuk umat Muhammad saw. Bila para ahli
Biologi menyebut manusia sekarang termasuk species Homo Sapiens,
berarti Adam atau basyar pertama itu adalah homo sapiens pertama, bukan species
Homo Neanderthalensis, Homo Erectus, Homo Cromagnon, atau Homo-homo lain
sebelumnya. Dalam kaitan ini ada baiknya disimak firman Allah dalam Al-Qur’an
Surat 2:30 yang artinya sbb.:
Ingatlah
ketika tuhanmu berfirman kepada para malaikat, “Sesungguhnya Aku akan
menjadikan seorang khalifah di muka bumi.” Para malaikat berkata, “Mengapa
Engkau akan menjadikan [khalifah] yang akan membikin kerusakan dan pertumpahan
darah di sana, padahal kami senantiasa bertasbih, bertahmid dan bertaqdis
terhadap-Mu?” Allah berfirman, “Aku lebih tahu apa yang tidak kamu ketahui.” Dari
satu sisi bisa dikatakan bahwa dialog antara Allah swt. dan para malaikat dalam
ayat tersebut tidak mungkin terjadi karena menurut Al-Qur’an (QS. 66:6) para
malaikat tidak mungkin membantah atau memprotes rencana Allah swt. atau berbuat
ma‘siyat terhadap-Nya. Mereka senantiasa melaksanakan apa saja yang disuruh-Nya.
Karena itu kisah tersebut merupakan kisah “legendaris atau dongeng” (qissah
usturiyyah) yang merupakan salah satu uslub Qur’ani untuk lebih mempertegas
maknanya, bahwa khalifah yang dimaksud bukanlah yang akan membikin kerusakan
dan pertumpahan darah sebagaimana diduga oleh para malaikat itu.
Firman Allah
di akhir ayat tersebut, secara a contrario, justeru menegaskan
bahwa khalifah itu akan membangun bumi dan akan melenyapkan pertumpahan darah
dalam segala bentuknya; dan itulah amanat Allah yang diberikan-Nya kepada
khalifah-Nya itu. Dari sisi lain dapat diambil kesimpulan lain, dengan
mengingat sifat lain yang dimiliki para malaikat bahwa mereka tidak mungkin
mengatakan sesuatu di luar pengetahuan dan ilmu yang diterimanya dari Allah
(QS. 2:32), bahwa rupanya para malaikat pernah melihat makhluk lain sebelum
Adam yang justeru membikin kerusakan dan menimbulkan pertumpahan darah. Bila
kesimpulan ini benar, berarti secara implisit Al-Qur’an mengakui adanya
makhluk-makhluk lain yang mirip dengan Adam sebelum Adam dicipta-Nya. Atau
dengan perkataan lain bahwa species Homo Erectus, Homo Neanderthalensis, Homo
Cromagnon dan lain-lainnya yang ada sebelum species Homo Sapiens diakui adanya
oleh Al-Qur’an walaupun semuanya itu secara kualitatif tidak sama dengan Adam
atau Homo Sapiens pertama itu.
Ins, Nas dan Insan Selain basyar dan Bani Adam, Al-Qur’an juga menggunakan istilah-istilah ins dan nas. Kata ins senantiasa disebut secara berurutan dengan kata jin sebanyak 19 kali dalam 18 ayat, 14 di antaranya termasuk ayat-ayat Makkiyyah dan 4 lainnya adalah ayat-ayat Madaniyyah. Sedangkan kata nas disebut dalam Al-Qur’an sekitar 240 kali. Menurut ‘A’isyah binti Syati’ dalam bukunya,[6] kata ins menunjukkan sifat manusia yang tidak liar dan ganas, sedangkan kata jin berarti tersembunyi, penuh misteri, liar, mengerikan dan sekaligus ganas. Dengan demikian kata ins menunjukkan perbedaan manusia dalam penampilannya dengan jin: manusia adalah makhluk yang tampak dan tidak menakutkan sedangkan jin adalah makhluk yang tidak tampak (ghaib) yang mengerikan. Dengan perkataan lain kata ins juga menunjukkan sifat dari basyar dan Bani Adam. Binti Syati’ juga menyatakan bahwa kata ins dan insan, yang kedua-duanya berasal dari huruf-huruf alif, nun dan sin, mempunyai pengertian yang sama sebagai makhluk biologik yang berbeda dengan jin yang liar atau dengan binatang. Namun sepanjang keterangan Al-Qur’an, antara ins dan hayawan (binatang) terdapat kesamaan-kesamaan disamping perbedaan-perbedaan. Adapun kata nas, menurut Binti Syati’, juga mempunyai pengertian yang sama dengan Bani Adam, sebagai nama jenis atau species.[7] Ini berarti bahwa manusia yang disebut nas atau Bani Adam itu tidak berbeda satu sama lain: mereka terdiri dari laki-laki dan perempuan dan bersuku-suku sehingga satu sama lain dapat saling kenal-mengenal. Perbedaannya hanyalah pada ketaqwaan mereka terhadap Allah swt.[8]
Sampai di sini dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya istilah-istilah basyar, Bani Adam, ins dan nas yang digunakan dalam Al-Qur’an lebih menekankan pada eksistensi manusia sebagai makhluk biologik dengan ciri-ciri basyariyyah-nya. Atau dengan perkataan lain, keempat kata tersebut lebih menampilkan manusia sebagai objek, berbeda dengan istilah insan yang akan diuraikan lebih lanjut di bawah ini.
Ins, Nas dan Insan Selain basyar dan Bani Adam, Al-Qur’an juga menggunakan istilah-istilah ins dan nas. Kata ins senantiasa disebut secara berurutan dengan kata jin sebanyak 19 kali dalam 18 ayat, 14 di antaranya termasuk ayat-ayat Makkiyyah dan 4 lainnya adalah ayat-ayat Madaniyyah. Sedangkan kata nas disebut dalam Al-Qur’an sekitar 240 kali. Menurut ‘A’isyah binti Syati’ dalam bukunya,[6] kata ins menunjukkan sifat manusia yang tidak liar dan ganas, sedangkan kata jin berarti tersembunyi, penuh misteri, liar, mengerikan dan sekaligus ganas. Dengan demikian kata ins menunjukkan perbedaan manusia dalam penampilannya dengan jin: manusia adalah makhluk yang tampak dan tidak menakutkan sedangkan jin adalah makhluk yang tidak tampak (ghaib) yang mengerikan. Dengan perkataan lain kata ins juga menunjukkan sifat dari basyar dan Bani Adam. Binti Syati’ juga menyatakan bahwa kata ins dan insan, yang kedua-duanya berasal dari huruf-huruf alif, nun dan sin, mempunyai pengertian yang sama sebagai makhluk biologik yang berbeda dengan jin yang liar atau dengan binatang. Namun sepanjang keterangan Al-Qur’an, antara ins dan hayawan (binatang) terdapat kesamaan-kesamaan disamping perbedaan-perbedaan. Adapun kata nas, menurut Binti Syati’, juga mempunyai pengertian yang sama dengan Bani Adam, sebagai nama jenis atau species.[7] Ini berarti bahwa manusia yang disebut nas atau Bani Adam itu tidak berbeda satu sama lain: mereka terdiri dari laki-laki dan perempuan dan bersuku-suku sehingga satu sama lain dapat saling kenal-mengenal. Perbedaannya hanyalah pada ketaqwaan mereka terhadap Allah swt.[8]
Sampai di sini dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya istilah-istilah basyar, Bani Adam, ins dan nas yang digunakan dalam Al-Qur’an lebih menekankan pada eksistensi manusia sebagai makhluk biologik dengan ciri-ciri basyariyyah-nya. Atau dengan perkataan lain, keempat kata tersebut lebih menampilkan manusia sebagai objek, berbeda dengan istilah insan yang akan diuraikan lebih lanjut di bawah ini.
Insan Kata insan disebut
dalam Al-Qur’an sebanyak 65 kali dan bila disimak secara cermat, dari segi siyaknya,
terlihat bahwa ia memiliki makna yang berbeda dengan keempat istilah yang
telah disebut sebelumnya.
Memang ada keterkaitan antara manusia sebagai basyar dan manusia sebagai insan sepanjang keterangan Al-Qur’an. Sebagai bukti dapat dikemukakan dua buah ayat Al-Qur’an dalam surat 15:26 dan 28 yang sama-sama menyatakan bahwa manusia dicipta dari tanah liat yang berasal dari lumpur hitam yang diberi bentuk. Ayat 26 menggunakan istilah insan sedangkan ayat 28 menggunakan istilah basyar. Bukti lain terdapat dalam Al-Qur’an Surat 25:54 dan Surat 32:7 dan 8. Pada surat 25:54 dinyatakan bahwa manusia (basyar) dicipta dari air, sedangkan pada surat 32:7-8 dinyatakan bahwa keturunan manusia (insan) dicipta dari saripati air yang hina. Ini berarti bahwa insan itu juga basyar, tetapi dalam kata insan itu terkandung makna yang lebih esensial dan signifikan, yaitu manusia yang berpribadi, yang karenanya dia mampu mengemban khilafah atau amanat Allah di muka bumi. Dengan perkataan lain, insan adalah manusia sebagai subjek, bukan sebagai objek sebagaimana dinyatakan dalam keempat istilah yang disebut sebelumnya.
Memang ada keterkaitan antara manusia sebagai basyar dan manusia sebagai insan sepanjang keterangan Al-Qur’an. Sebagai bukti dapat dikemukakan dua buah ayat Al-Qur’an dalam surat 15:26 dan 28 yang sama-sama menyatakan bahwa manusia dicipta dari tanah liat yang berasal dari lumpur hitam yang diberi bentuk. Ayat 26 menggunakan istilah insan sedangkan ayat 28 menggunakan istilah basyar. Bukti lain terdapat dalam Al-Qur’an Surat 25:54 dan Surat 32:7 dan 8. Pada surat 25:54 dinyatakan bahwa manusia (basyar) dicipta dari air, sedangkan pada surat 32:7-8 dinyatakan bahwa keturunan manusia (insan) dicipta dari saripati air yang hina. Ini berarti bahwa insan itu juga basyar, tetapi dalam kata insan itu terkandung makna yang lebih esensial dan signifikan, yaitu manusia yang berpribadi, yang karenanya dia mampu mengemban khilafah atau amanat Allah di muka bumi. Dengan perkataan lain, insan adalah manusia sebagai subjek, bukan sebagai objek sebagaimana dinyatakan dalam keempat istilah yang disebut sebelumnya.
Untuk
mengenali ciri-ciri kemanusiaan (insaniyyah) manusia yang disebut insan
ini barangkali bisa disimak firman Allah dalam Al-Qur’an Surat 96:1-8 sebagai
berikut: Bacalah dengan nama tuhanmu yang telah mencipta. Mencipta manusia
dari `alaq. Bacalah dan tuhanmu Maha Mulia. Yang telah mengajar dengan
perantaraan kalam. Mengajar manusia apa yang belum diketahuinya. Tetapi
ketahuilah, manusia itu cenderung membangkang. [Lantaran] manusia menganggap
dirinya serba kecukupan [dan tidak memerlukan bantuan]. [Padahal] kepada
tuhanmulah kamu akan kembali.
Pada ayat-ayat tersebut kata insan
diulang sebanyak tiga kali. Pertama, pada ayat 2 dengan menekankan pada
asal-usul kejadiannya, yaitu ‘alaq atau embryo yang menempel
[pada rahim wanita]. Kedua, pada ayat 5 dengan menekankan keistimewaannya
karena menerima ilmu dari Allah swt. Dan ketiga, pada ayat 6 dengan peringatan
bahwa manusia itu cenderung membangkang karena merasa dirinya tidak memerlukan
bantuan dari siapa pun, termasuk dari Allah swt., penciptanya, padahal
kepada-Nya jualah dia akan kembali. Dari siyak ayat-ayat tersebut kiranya
dapat disimpulkan bahwa manusia yang disebut insan itu seharusnya menyadari
bahwa dirinya adalah makhluk Allah, bahwa ilmu serta kemampuan yang dimilikinya
bersumber kepada Allah, dan dia pada akhirnya akan kembali kepada Allah juga.
Kesadaran itulah yang merupakan ciri-ciri insaniyyah manusia yang disebut insan
itu. Bila salah satu di antara kesadaran-kesadaran itu hilang, berarti hilang
pulalah insaniyyah-nya.
Menurut
Al-Qur’an,[9] insan itu
dicipta Allah dalam kondisi yang paling baik, tetapi karena kecenderungannya
untuk membangkang dan sombong, Allah secara berangsur-angsur mencampakkannya
ke dalam kondisi yang paling buruk, kecuali bila mereka beriman dan beramal
saleh. Posisi dan fungsi iman dan amal saleh – yang juga dikenal sebagai
`aqidah dan syari‘ah – itu ternyata begitu penting sehingga dalam Al-Qur’an
kedua kata tersebut disebut secara berurutan sebanyak 83 kali. Menurut
pendapat Mahmud Syaltut dalam bukunya,[10] penyebutan
secara berurutan sebanyak itu menunjukkan bahwa orang beriman yang mengabaikan
syari‘ah [amal saleh] atau mengamalkan syari`ah [amal saleh] tetapi tidak
beriman, di mata Allah, sama sekali bukan Muslim.
2.4 Tanggung
jawab manusia sebagai hamba dan khalifah Allah
Sebagai
makhluk Allah, manusia mendapat amanat Allah, yang harus dipertanggung
jawabkan di
hadapanNya. Tugas hidup yang dipikul manusia di muka bumi adalah tugas
kekhalifaan, yaitu tugas kepemimpinan; wakil Allah di muka bumi untuk mengelola
dan
memelihara
alam. Khalifah berarti wakil atau pengganti yang memegang kekuasaan. Manusia
menjadi khalifah berarti manusia memperoleh mandat Tuhan untuk mewujudkan
kemakmuran di muka bumi. Kekuasaan yang diberikan kepada manusia bersifat
kreatif yang memungkinkan dirinya mengolah serta mendayagunakan apa yang ada di
muka bumi untuk kepentingan hidupnya sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan
oleh Allah.
Agar manusia
dapat menjalankan kekhaliannya dengan baik, Allah mengajarkan kepada manusia
kebenaran dalam segala ciptaan Allah melalui pemahaman serta pengusaan terhadap
hukum-hukum yang terkandung dalam ciptaan Allah, manusia dapat menyusun
konsep-konsep serta melakukan rekayasa membentuk sesuatu yang baru dalam alam
kebudayaan.
Di samping
peran manusia sebagai khalifah Allah di muka bumi memiliki kebebasan, ia juga
sebagai hamba Allah (‘abdun). Seorang hamba Allah harus taat dan patuh kepada
perintah Allah. Makna yang esensial dari kata ’abdun (hamba) adalah ketaatan,
ketundukan dan kepatuhan, yang kesemuanya hanya layak diberikan kepada Allah
yang dicerminkan dalam ketaatan, kepatuhan dan ketundukan pada kebenaran dan
keadilan.
Di dalam
Ensiklopedi Islam untuk Pelajar (2005: 79), menurut ulama ada terdapat empat
macam hamba, yaitu :
1. Hamba
karena hukum, yakni budak
2. Hamba
karena pencipataan, yaitu manusia dan seluruh makhluk hidup
3. Hamba
karena pengabdian kepada Allah, yaitu manusia yang beriman kepada Allah dengan
ikhlas
4. Hamba
karena memburu dunia, yaitu manusia yang selalu memburu kesenangan duniawi dan
melupakan ibadah kepada Allah.
Manusia
sebagai hamba Allah (‘abd) adalah makhluk yang dimuliakan oleh
Allah. kemulian manusia dibanding dengan makhluk lainnya adalah karena manusia
dikaruniai akal untuk berfikir dan menimbang baik-buruk, benar-salah, juga
terpuji-tercela, sedangkan makhluk lainnya tidaklah memperoleh kelebihan
seperti halnya yang ada pada manusia.
Namun, walaupun manusia memiliki kelebihan dan
kemulian itu tidaklah bersifat abadi, tergantung pada sikap dan perbuatannya.
Jika manusia memiliki amal saleh dan berakhlak mahmuda (yang baik), maka akan
dipandang mulia disisi Allah dan manusia yang lain, tapi jika sebaliknya,
manusia tersebut membuat kerusakan dan berakhlak mazmumah (yang jahat), maka
predikat kemuliannya turun ke tingkat yang paling rendah dan bahkan lebih
rendah dari hewan. Dua peran yang diemban oleh manusia di muka bumi sebagai
khalifah dan ‘abdun merupakan keterpaduan tugas dan tanggung jawab yang
melahirkan dinamika hidup yang sarat dengan kreatifitas dan amaliyah yang
selalu berpihak pada nilai-nilai kebenaran.